Senin, 02 Mei 2011

faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERKEMBANGAN ANAK
Pernahkah anda pemperhatikan seorang bayi yang
meneliti dengan seksama sebuah mainan baru miliknya.
Anak itu memasukkan mainannya itu dalam mulut untuk
mengetahui rasanya, kemudian menggoyangkannya,
mengangkat, membantingkan dan memilah-milah yang bisa
ia lakukan, serta membongkarnya untuk diselidiki saru
persatu. Proses yang demikian ini disebut belajar secara
menyeluruh (global learning) yang merupakan cara efektif
dan alamiah bagi seseorang manusia untuk mempelajari
bahwa otak seorang anak hingga usia enam atau tujuh tahun
mampu menyerap berbagai fakta, sifat-sitfat fisik dan
kerumitan bahasa (Deporter dan Hernacki, 1999:22). Para
ahli berbeda pendapat mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak, karena memang sudut
pandang maupun pendekatannya berbeda.
Kata perkembangan sering kali digandengkan dengan
pertumbuhan dan kematangan, ketiganya memang
mempunyai hubungan yang sangat erat. Pertumbuhan dan
perkembangan pada dasarnya adalah perubahan menuju ke
tahap-tahap yang lebih tinggi dan lebih baik. Pertumbuhan
lebih banyak berkenaan dengan aspek-aspek jasmaniah atau
fisik, menunjukkan perubahan atau penambahan secara
kuantitas, yaitu penambahan dalam ukuran besar atau
tinggi. Sedangkan perkembangan berkaitan dengan aspekaspek
psikhis atau rohaniah, berkenaan dengan aspek-aspek
jasmaniah atau fisik, menunjukkan perubahan atau
penambahan secara kuantitas, yaitu penambahan dalam
ukuran besar atau tinggi. Sedangkan perkembangan berkaitan
dengan aspek-aspek psikis atau rohaniah, berkenaan dengan
kualitas yaitu peningkatan dan penyempurnaan fungsi
(Syaodih Sukmadinata, 2003:111). Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa pertumbuhan berkenaan dengan struktur,
sedangkan perkembangan berkenaan dengan fungsi yang
berhubungan dengan kematangan. Pada dasarnya dilihat
dari aspek psikologis penyelenggaraan pendidikan khususnya
mengenai pembelajaran, para ahli mengemukakan ada empat
pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji faktorfaktor
yang dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam
belajar yaitu:
1. Pandangan Nativisme
Nativisme (nativism) yaitu “Nativus” atau pembawaan
adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar
terhadap aliran pemikiran psikologis. Pandangan
nativisme ini berpendapat bahwa perkembangan individu
itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa
semenjak lahir. Salah satu tokoh yang menganut teori
nativisme ini adalah Arthur Schopenhouer (1788-1880),
seorang filsuf bangsa jerman. Beliau berpendapat bahwa
bayi itu lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang
disebut sifat pembawaan yang baik dan pembawaan buruk.
Setiap anak memiliki sifat bawaan sendiri, sifat-sifat itu
tidak bias diubah denagan pengalaman. Pengalaman,
lingkungan, atau pendidikan, oleh karena itu hasil akhir
pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah
dibawah sejak lahir.
Dengan demikian dapat ditegaskan pandangan
nativisme bahwa perkembangan manusia itu ditentukan
oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan
pendidikan tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu
pendidikan, pandangan seperti ini disebut “pesimisme
pedagogis”. Aliran nativisme bertolak dari “leibnitzian
tradition” yang menekankan kemampuan dalam diri anak,
sehingga factor lingkungan, termasuk faktor pendidikan
kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Dalam
individu terdapat suatu inti pribadi yang mendorong
manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia
dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan
yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang
mempunyai kemauan bebas. Hasil perkembangan tersebut
ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak
kelahiran. Tirtaraharja dan Sula (2000:196) berpendapat
pembawaan itu bukanlah satu-satunya faktor yang
menentukan perkembangan, masih banyak faktor yang
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak
dalam menuju kedewasaaan.
2. Pandangan Naturalisme
Nature yaitu alam atau kodrat, pandangan naturalisme ini
dipelopori oleh seorang filsuf prancis J.J Rouseau (1712-1778).
Pandangannya lebih ditekankan pada sifat hakekat anak,
sehingga mempengaruhi konsepnya mengenai pembinaan
terhadap perkembangannya. Rouseau berpendapat bahwa semua
anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik dan
tidak ada seorang pun yang lahir dengan pembawaan buruk.
Namun pembawaan baik itu, akan menjadi rusak karena
dipengaruhi oleh lingkungan atau pengaruh kebudayaan
manusia itu sendiri. Rouseau berpendapat bahwa pendidikan
yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak
pembawaan anak yang baik itu.
Pandangan naturalisme tidak memandang penting
pendidikan, aliran ini juga disebut “negativisme”, karena
berpendapat pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak
pada alam, dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan.
Rouseau dengan gigihnya mengajak agar kembali ke alam, yang
baik itu, dengan menjauhkan anak dari lingkungan
kebudayaaan. Ia ingin menjauhkan anak dari segala keburukan
masyarakat yang serba dibuat-buat, sehingga kebaikan anakanak
yang diperoleh secara alamiah sejak lahir dapat tampak
secara spontan dan bebas.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Herbart (1776-1841)
adalah seorang naturalis, hal ini tampak pada pandangannya:
1) teori tahap-tahap perkembangan budaya yang menyatakan
bahwa ras manusia berkembang melalui tahap perkembangan
budaya tertentu, dan tahap-tahap tersebut akan diulangi
dalam perkembangan individu; 2) seorang manusia yang baik
akan memerintahkan dirinya sendiri, sifat dasar manusia
terdiri dari dua faktor yaitu diri yang memerintah dan diri
yang menolak. Mendidik orang muda agar ingin berbuat baik,
bebas dan mantap, terwujud apabila sifat dasarnya mau
melakukan perbuatan tersebut; dan 3) jika dibekali suatu
kemampuan khusus untuk mereaksi terhadap hal-hal yang ada
terhadap lingkungannya.
3. Pandangan Empirisme
Empiria atau pengalaman, tokoh perintis pandangan
empirisme adalah seorang filsuf inggeris bernama John
Locke (1632-1704). Faham empirisme ini bertentangan
denagn paham nativisme dan berpendapat, bahwa anak itu
sejak lahir belum memiliki sifat-sifat pembawaan apapun.
John Locke mengembangkan suatu teori yang terkenal
dengan teori “tabula rasa” di mana beliau berpendapat
bahwa anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang
bersih. Maka di atas kertas putih itu orang dapat membuat
coretan menurut kehendaknya. Oleh karena itu
lingkungan, anak memperoleh pengalaman-pengalaman
empirik, dan pengalaman empirik yang diperoleh dari
lingkungan inilah yang berpengaruh besar dalam
menentukan perkembangan anak.
Penganut pandangan ini menyatakan bahwa
perkembangan anak tergantung kepada lingkungan,
sedangkan pembawaan tidak dipentingkan sebab pada
waktu lahir seorang anak masih bersih. Pengalaman yang
diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari
dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan yang
berasal dari alam bebas maupun diciptakan oleh orang
dewasa dalam bentuk program pendidikan. Dalam hal ini
para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir
seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya
kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa anak
kelak tergantung pada pengalaman maupun lingkungan
yang mendidiknya. Seorang pendidik dapat membentuk
menjadi apapun yang dikehendakinya, apakah akan
dibentuk menjadi seorang sarjana, seorang montir di
bengkel, atau bahkan seorang penjahat. Jika ada ilmu
pendidikan yang mendasarkan pada faham ini, maka
dikatakan sebagai pedagogik optimistis. Paham ini juga
sering disebut sosiologisme, karena hanya menekankan arti
pengaruh lingkungan dalam perkembangan anak. Mengacu
pada model-model pendidikan yang berkembang
diindonesia, tidak tampak pengikut nativisme maupun
empirisme yang murni, tetapi mengkombinasi nativisme
dan empirisme yang murni, tetapi mengkombinasi
nativisme dan empirisme maupun teori-teori lainnya yang
relevan bagi pendidikan anak.
4. Pandangan Konvergensi atau Interaksionisme
Faham nativisme, naturalisme dan empirisme memang
merupakan faham-faham yang bersifat filsafat yang
dikembangkan menjadi filsafat pendidikan. Teori konvergensi
membuka kesempatan yang luas bagi terlaksananya pendidikan
sebagai pertolongan belajar kepada peserta didik. Alasannya
potensi intelektual yang dimiliki anak dapat
ditumbuhkembangkan melalui proses belajar, meskipun dilain
pihak pembawaan si anak akan membatasi perkembangan itu.
Pendekatan dalam teori konvergensi ini antara lain melalui
pendekatan tinkah laku, di mana guru dapat menangkap ciriciri
apakah anak sudah dapat menerima pelajaran atau tidak
melalui perilaku si anak. Tingkah laku itu mencerminkan
apakah anak mampu menerima dan memproses informasi
belajar yang diterimanya, dan jika tidak mampu guru dapat
mencari tahu akan informasi sebagai kendalanya, melalaui
data dan informasi tersebut guru menyusun langkah-langkah
untuk mengatasinya. Teori konvergensi ini bukan sekedar
memadukan antara nativisme, naturalisme dan empirisme,
melainkan mempunyai landasan pikir yang berbeda dengan
paham tersebut. Didukung oleh pesatnya ilmu pengetahuan,
teori konvergensi ini melakukan studi psikologi dan pendidikan
menjadi konvergen antara pembawaan yang dipelajari sebagai
hereditas dan lingkungan budaya maupun pendidikan yang
berkonvergensi dengan faktor pertama.